Tikar Mendong, masih eksis di tengah gempuran tikar pabrikan - OPSINTB.com | News References -->

17/01/25

Tikar Mendong, masih eksis di tengah gempuran tikar pabrikan

Tikar Mendong, masih eksis di tengah gempuran tikar pabrikan

 
Tiker mendong

OPSINTB.com - Cuaca nampak bersahabat. Langit tertutup awan hitam tipis, tapi hujan tak kujung turun.


Sedianya hari Sabtu (11/01/2025) itu, tujuan utama ialah ke Masbagik. Mengunjungi teman di wilayah itu.


Belum sampai tujuan, gawai pintar tiba-tiba berdiring. Ternyata telepon masuk melalui aplikasi WhatsApp. 


Di ujung telepon sebelum percakapan disudahi, ada kabar di Dusun Paok Pondong, Desa Lenek, Kecamatan Lenek, masih ditemukannya pengerajin tikar tradisional.


Tak fikir panajang, putar arah bergegas melanjukan motor bebek menuju lokasi. Di tengah jalan, sebelum sampai tujuan, hujan pun turun.


Terpaksa harus minggir sejenak, memasang jas hujan yang selalu sedia di jok motor. 


Sekira 20 menit berlalu, benar saja di dusun itu didapati pengerajin yang tengah membuat rajutan tiker dengan alat tradisional nan sederhana.


Kamariah, 45 tahun. Tengah duduk di depan alatnya. Matanya, fokus tertuju pada benang yang sudah dipasang.


Tangannya terlihat cekatan mengambil satu persatu bahan yang akan digunakan. Sesekali dirinya menolah ke kiri kinan memastiakan pasangan ulatan mendong sudah presisi.


"Kalau dulu hampir semua warga di sini sebagai pengrajin tiper (tikar, red) Mendong. Namun sekarang hanya sekitar 30-40 orang yang tersisa," kata Kamariah, sambil bekerja.


Tikar tradisional Mendong sampai saat ini masih tetap eksis, di tengah gempuran tikar pabrikan.


Aktivitas pengerajin sempat akan punah, meski tikar Mendong saat ini kembali eksis. Meski hanya beberapa orang yang masih melakukan aktivitas itu.


Diceritakan, sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), dirinya sudah bisa membuat tikar Mendong.


Ilmu itu didapatinya dari orang tuanya langsung. Bahkan Cacak atau alat yang digunakan merupakan warisan dari orang tuanya. 


"Alat saya ini berumur puluhan tahun, bahkan saya ini merupakan generasi ketiga yang menggunakan cacak itu," terangnya.


Dia menuturkan, tikar Mendong sempat akan vakum. Kembalinya pengerajin setelah adanya gerakan dan kelompok pengrajin. 


Kerajinan ini mulai bangkit dan mulai dimodifikasi dengan membuat kerajinan yang lainnya.


Usaha mereka tak sia-sia. Sebab, produk pengerajin setempat di pamerkan dalam salah satu acara yang digelar di Islamic Center.


"Ketua kelompok kami yang hadir di pameran itu, Alhamdulillah semua tikar yang dipamerkan habis terjual. Dari sana pengrajin mulai bangkit dan semangat lagi," katanya. 


Proses pembuatan tikar Mendong terbilang cukup rumit serta membutuhkan waktu cukup lama.


Mulai dari panen tanaman Mendong, dibersihkan, kemudian dikeringkan. 


Setelah kering, tanaman Medong itu dimasak lalu diberikan pewarnaan. Selanjutnya, kembali dijemur. 


"Baru setalah kering dibuat menjadi tikar," paparnya.


Meskipun tanaman mendong merupakan jenis rumput liar yang tumbuh di persawahan warga, tapi tak jarang dibudiayakan oleh masyarakat setempat.


Jadi bahan pembuatan tikar itu dibelinya dari pembudidaya tanaman itu. Pengerajin, membeli dari warga dengan harga Rp1 hingga Rp2 juta per petak sawah.


"Kita beli mulai dari Rp 1-2 juta per satu sawah. Biasanya itu petak itu bisa untuk membuat 80 sampai 90 tikar," sebutnya.


Satu buah tikar dijual dengn haraga bervariasi tergantung ukuran dan motif. Mulai dari harga Rp25 ribu hingga Rp100 ribu. Tikar yang sudah jadi biasanya akan diambil langsung oleh pengepul.


Dia mengatakan, tikar yang paling mahal ialah dengn motif Pucek Rebong dan Catur. 


Sebagin pengerajin disebutnya hanya bertugas untuk membuat. Bahan pembuatan tikar seperti tanaman mendong kering di siapkan oleh pengepul. 


Dengan hitung-hitungan 2 sampai 1. Artinya setiap pembuatan tiga tikar, pengerajin mendapatkan bagian satu buah tikar sebagi upah. 


"Kalau saya hanya membuat saja. Bahan dari pengepul. Saya tidak punya modal untuk beli tanaman Mendong. Nanti upah yang satu itu kita jual ke pengepul dengn harga Rp25 ribu hingga Rp35 ribu," jelasnya.


Dia menceritakan, musim penghujan seperti saat ini menjadi paling berat bagi pengrajin tikar mendong. 


Sebab, tanaman mendong sangat rentan rusak terkena air. Biasnya tikar yang dibuat dari berbahan rumput liar itu basah menyebabkan warna menjadi hitam, cepat lusuh dan rusak.


Pengerajin bisa membuat 2 sampai 3 tikar per harinya. Diakui peminat tikar mendong saat ini masih tinggi pasaran. 


Meskipun sudah banyak tikar moderen dan karpet yang menjamur di pasaran. Tapi, tikar mendong memiliki nilai dan kelebihan sendiri di masyarakat. 


Salah satu kelebihan tiker ini ialah, bisa menyesuaikan disegala kondisi cuaca. Jika kondisi cuaca panas tikar akan menjadi dingin dan hangat.


"Alhamdulillah sekarang tikar mendong ini kembali eksis, setelah ada kreasi dari kelompok. Seperti pembuatan, tas, topi, lampion, pot dan beberapa kerajinan lainnya. Peminatnya juga semakin banyak. Karena memiliki keunikan sendiri. Waluoin tidak bisa terkena air,"Ujarnya.


Pengrajin tikar mendong di Dusun Paok Pondong ini sebagian besar dari kalangan ibu-ibu yang berusia 45 tahun ke atas. 


Jarang ada pemuda yang menjadi pengerajin, sehingga dikhawatirkan 10 tahun ke depan kerajinan ini akan punah.


Dirinya berharap pemerintah dapat membantu pengerajin untuk mempertahankan kerajinan mendong tersebut. Salah satunya dengan memberikan bantuan modal untuk membeli bahan baku. 


"Sekarang pak kadus mulai melakukan berbagai kegiatan, salah satunya dengan membuat kelompok, sosialisasi dan kegiatan-kegiatan lainnya untuk mempertahankan kerajinan ini supaya tidak punah. Mudah-mudahan ada bantuan modal dari pemerintah untuk kami beli bahan baku. Apa lagi harga bahan baku sekarang Mukai naik," tutupnya. (zaa)

Read other related articles

Also read other articles

© Copyright 2021 OPSINTB.com | News References | PT. Opsi Media Utama