opini

25/11/25

Biarkan hukum berjalan di atas rel hukum

 
Biarkan hukum berjalan di atas rel hukum

Oleh:

Dhabit Khadafi SH,

Sekjen PERADI Pergerakan NTB


Pasca penahanan terhadap tiga anggota DPRD NTB, IJU, MNI dan HK, oleh Kejaksaan Tinggi NTB, diskursus tentang penahanan terhadap ketiganya menyeruak di tengah publik, apakah hukum memang sedang berjalan di atas relnya dalam penegakan hukum bagi kasus yang menimpa ketiganya, atau dalam istilah hukumnya kepastian hukum atau rechtszekerheid.

Dalam ilmu hukum pidana, asas yang paling mendasar adalah tidak boleh seseorang dihukum tanpa adanya dasar hukum yang menyatakan orang tersebut bersalah. Karena ada beberapa hal yang menjadi catatan. Dimulai dengan adanya tekanan politik dari sejumlah pihak yang meyebarkan opini masive yang belum tentu benar di berbagai media, pembelahan arus kepentingan politik terkait kasus ini di DPRD NTB, unjuk rasa, dugaan pemaksaan dari kelembagaan tertentu, hingga perintah penahanan terhadap tiga anggota DPRD NTB tersebut yang proses penatapannya sebagai tersangka dianggap terlalu terburu-buru, juga karena secara administrasi hukum acara tidak sesuai dengan tujuan hukum acara yakni penegakan keadilan dalam proses hukum yang berkeadilan.

Jaksa menahan tiga anggota DPRD NTB ini karena alasan telah melakukan tindak pidana suap dan gratifikasi, sesuai ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf b UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Hakekat ditegakannya hukum tindak pidana korupsi sebenarnya secara sederhana adalah untuk mencari dan menghukum orang atau siapapun yang diketahui merugikan negara. Titik tekannya adalah adanya kerugian negara. Karena itulah kekagetan banyak orang menyeruak karena secara hakekat penahanan IJU dan MNI dan HK adalah pertanyaan mendasar karena tidak adanya kerugian negara yang ditimbulkan oleh ketiga tersangka tersebut.

Lalu mengapa mereka tetap ditahan?

Dalam keterangannya kepada media, 21 November 2025, Jampidsus Kejaksaan Tinggi NTB, Muh Zulkifli Said menjelaskan alasan penahanan IJU dan MNI adalah karena keduanya tersangkut tindak pidana gratifikasi. Kedua tersangka menurut Jampidus seperti yang ditulis radarlombok.co.id, berperan sebagai pemberi uang, bukan penerima. Kedua tersangka disangkakan melakukan tindak pidana sesuai ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf b UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Thun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Keterangan senada juga disampaikan saat penahanan terhadap HK.

Sampai di sini muncul berbagai pertanyaan yang cukup menarik untuk dibahas karena telah menjadi diskursus di ruang publik. Jika tindak pidana korupsi secara hakekat membutuhkan adanya kerugian negera, maka dari kasus ini adakah kerugian negara yang telah ditimbulkan? Jika keduanya disangkakan telah melakukan gratifikasi, pertanyaannya adalah apakah perbuatan dua tersangka tersebut telah memenuhi unsur Pasal 12B ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi? Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas (uang, barang, diskon, atau fasilitas) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang berkaitan dengan jabatan mereka.

Pertanyaannya, pemberian untuk kepentingan apa yang dilakukan kedua tersangka apabila dikaitkan dengan jabatannya. Begitu juga jika dikaitkan dengan delik pidana suap. Atas tujuan apa suap diberikan kedua tersangka? Apakah ada perbuatan hukum lanjutan atas gratifikasi tersebut yang terkait jabatan yang kemudian dapat merugikan negara.

Banyak yang menilai ketidak sempurnaan sangkaan inilah yang membuat perintah penahanan terhadap ketiga tersangka ini menjadi pertanyaan besar, untuk kepentingan apa keduanya harus ditahan. Jaksa sama sekali belum mampu menjelaskan pertanyaan jika ini gratifikasi, maka dari mana dana tersebut berasal. Apa bukti? Karena di beberapa keterangannya di sejumlah media Jampidsus Kejati NTB berulang kali menjelaskan dananya tidak berasal dari anggaran daerah (APBD), pokir, atau bahkan tidak berasal dari dana swasta.

Lalu unsur gratifikasinya di mana? Apakah ada hubungan antara sangkaan gratifikasi tersebut terhadap kebijakan Pemprov NTB? Jika ada, kebijakan yang mana? Apakah karena perbuatan gratifikasi tersebut ada  program atau proyek yang “dijual”? Jika ada maka sempurnalah gratifikasi atau suap. Tetapi jika seperti yang terlihat selama ini tidak ada program pemerintah, proyek pemeritah yang hilang atau bahkan APBD yang “bocor” maka atas tuduhan apa sangkaan tersangka tersebut diberikan.

Salah satu tujuan penegakan hukum adalah untuk mencegah dan mengatasi permasalahan hukum. Demikian juga dalam perkembangan hukum pidana khusus, yakni tindak pidana korupsi. Alat ukur paling dasar adalah kerugian negara. Apakah ada permasalahan hukum yang berakibat pada timbulnya kerugian negara. Apalagi perhitungan kerugian negara yang dimaksudkan oleh penjelasan Pasal 32 Ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 kerugian negara yang dimaksud adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan rumusan instansi yang berwenang, atau akuntan publik yang dirujuk. Artinya apa, menetapkan seseorang telah melakukan tindak pidana korupsi itu membutuhkan proses pembuktian yang panjang. Termasuk dalam membuktikan apakah ada atau tidak adanya tindak korupsi berupa gratifikasi maupun suap.

Suap atau gratifikasi dalam rumpun tindak pidana korupsi masuk dalam bentuk korupsi ekstortif, berupa pemberian penyelenggara negara untuk mendapatkan fasilitas, pelayanan, atau bentuk-bentuk lain dari kekuasaan yang dimiliki penyelenggara negara. Dalam sangkaan yang dialamatkan kepada ketiga tersangka anggota DPRD NTB ini, justru sebaliknya yang terjadi, ketiganya disangkakan sebagai penghubung atau pemberi uang.

Jika penerapan hukum harus konsisten, adil, terstruktur dan mengikat semua pihak, maka pertanyaan yang timbul adalah, siapa sebenarnya pemberi maupun penerima uang dalam sangkaan gratifikasi tersebut. Jika sumber uangnya bukan dari APBD atau dana program pemerintah, maka kerugian atas apa yang ditimbulkan dalam perbuatan gratifikasi dimaksud. Jika sangkaan tersebut gratifikasi, maka perbuatan gratifikasi dilakukan atas sumber dana yang mana? Semua ini belum tuntas rasanya. Lalu tiba-tiba diterbitkan perintah penahanan yang diakui atau tidak sangat cepat. Apakah penetapan telah memeunuhi unsur hukum acara yang benar. Inilah berbagai diskurus yang menjadi pertanyaan publik.

Rel bagi hukum dalam asas hukum adalah asas legalitas. Hukum harus berjalan di atas relnya yang disebut legalitas. Legalitas perintah penahanan inilah kini yang menjadi tertanyaan besar. Fakta awam melihat secara terang benderang betapa besarnya tekanan politik dan opini liar mewarnai penanganan kasus ini. Karena itulah menjadi relevan dalam penanganan kasus ini dikemukakan satu asas “no punishment without guilt” atau dalam ilmu hukum dikenal dengan asas geen straf zonder schuld, yang maknanya secara fundamental prinsip dalam penegakan hukum pidana itu adalah seseorang tidak dapat dihukum kecuali telah terbukti bersalah secara sah dan adil melalui proses hukum yang sesuai ketentuan hukum.

Rel hukum itu tidak berada di bawah rel kepentingan apapun di luar kepentingan hukum itu sendiri. Hukum tidak boleh ditekan melalui kepentingan apapun, baik politik, tekanan lembaga, institusi, atau kelompok masyarakat. Hukum selalu melekat pada ruang hukum itu sendiri, asas legalitas. Maka sebaiknya semua pihak harus menjauhkan proses penegakan hukum terhadap tiga anggota DPRD NTB ini dari kepentingan politik, pemaksaan kehendak, tekanan kelembagaan manapun. Hukum harus berjalan di atas rel hukum itu sendiri. Lex semper dabit remedium. Hukum itu sifatnya harus memberikan solusi, jalan keluar. Bukan keriuhan.

11/09/25

Pembangunan SMA Garuda Taruna Nusantara di Lemor, antara harapan pendidikan dan ancaman ekologi

 
Sma taruna garuda nusantara lombok timur
Oleh: Daeng Sani Ferdiansyah, Kaprodi KPI IAIH Pancor.

Rencana pembangunan SMA Garuda Taruna Nusantara di dalam kawasan Kebun Raya Lemor, Lombok Timur, tengah menjadi perbincangan hangat masyarakat. Bagi sebagian kalangan, sekolah unggulan berskala nasional ini adalah peluang emas untuk meningkatkan mutu pendidikan di Lombok Timur. Namun, bagi sebagian yang lain, proyek ini menimbulkan kekhawatiran akan rusaknya fungsi ekologis dan sosial kawasan konservasi yang sudah lama menjadi kebanggaan daerah.


Sebagai Kaprodi KPI IAIH Pancor, saya memandang isu ini tidak bisa dilihat dari satu sisi saja. Ada harapan besar untuk generasi muda, tetapi ada pula risiko ekologis yang tidak boleh diabaikan. Opini ini saya susun untuk memberikan perspektif akademis sekaligus mengajak semua pihak menimbang secara kritis.


Data Konkret: Apa yang Sebenarnya Direncanakan?


Beberapa fakta penting yang patut dicatat, yaitu:

1. Lokasi pembangunan di Kebun Raya Lemor. Pemerintah daerah mengalokasikan lahan sekitar 20 hektare dari total kawasan kebun raya untuk pembangunan sekolah. Lahan ini disebut sebagai aset pemkab yang dianggap “kosong” dan siap dimanfaatkan.

2. Penolakan masyarakat. Sejumlah warga, organisasi lingkungan, hingga komunitas pecinta alam menyuarakan penolakan. Mereka menilai kebun raya adalah ruang konservasi, penelitian, dan wisata edukasi yang tidak boleh dialihfungsikan seenaknya.

3. Kewajiban kajian lingkungan. Para ahli menekankan perlunya AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) dan studi hidrologi-resapan air sebelum pembangunan dimulai. Tanpa kajian ini, risiko kerusakan ekosistem dan konflik sosial sangat besar.

4. Nilai strategis Kebun Raya Lemor. Kawasan ini selama ini dikenal sebagai hutan lindung dan ruang konservasi, berfungsi menjaga cadangan air, keanekaragaman hayati, serta iklim mikro yang menopang kehidupan masyarakat sekitar.


Pendidikan Berkualitas: Harapan yang Tak Bisa Ditinggalkan


Tak bisa dipungkiri, Lombok Timur membutuhkan sekolah unggulan. Data BPS NTB tahun 2023 mencatat bahwa angka rata-rata lama sekolah di Lombok Timur baru sekitar 7,5 tahun, masih jauh di bawah rata-rata nasional yang mencapai lebih dari 9 tahun. Artinya, sebagian besar masyarakat kita hanya menamatkan pendidikan hingga SMP.


Hadirnya SMA Garuda Taruna Nusantara tentu menjanjikan peningkatan kualitas pendidikan, akses lebih luas bagi putra-putri daerah untuk meraih masa depan, dan kesempatan membangun jejaring nasional. Bahkan, secara ekonomi, keberadaan sekolah unggulan bisa menggerakkan aktivitas baru: dari penyediaan jasa transportasi, kuliner, hingga perumahan.


Risiko Ekologis: Ancaman Jangka Panjang


Namun di sisi lain, pembangunan di kawasan konservasi punya dampak serius. Kebun Raya Lemor adalah paru-paru hijau Lombok Timur. Fungsinya menjaga sumber mata air, melindungi biodiversitas, dan menjadi ruang rekreasi masyarakat. Jika 20 hektare kawasan dialihfungsikan, ada potensi, yaitu:

1. Turunnya daya resap air yang bisa memicu kekeringan di musim kemarau.

2. Hilangnya keanekaragaman hayati yang telah lama dilestarikan.

3. Menurunnya kualitas pariwisata ekologis yang sebenarnya bisa menjadi aset ekonomi berkelanjutan bagi warga sekitar.

Kerugian ekologis semacam ini tidak langsung terasa, tetapi dalam jangka panjang akan membebani generasi mendatang.


Komunikasi Publik: Jangan Hanya Seremonial

Sebagai akademisi komunikasi, saya menekankan pentingnya konsultasi publik yang bermakna. Jangan sampai masyarakat hanya “diberi tahu” setelah keputusan diambil. Proses dialog harus transparan, melibatkan warga, tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, pelaku wisata, hingga akademisi. Dokumen AMDAL dan kajian teknis seharusnya dipublikasikan terbuka, bukan sekadar formalitas.


Tanpa komunikasi yang jujur dan partisipatif, proyek pendidikan unggulan justru bisa kehilangan legitimasi sosial. Padahal, sekolah seharusnya menjadi simbol peradaban, bukan sumber konflik.


Alternatif Solusi


Ada beberapa langkah bijak yang bisa dipertimbangkan, yaitu:

1. Cari lokasi alternatif. Pemkab Lombok Timur memiliki banyak aset lahan non-produktif yang bisa dialokasikan untuk sekolah unggulan tanpa mengorbankan kawasan konservasi.

2. Desain ramah lingkungan. Jika pembangunan di Lemor tak terhindarkan, maka harus dilakukan dengan footprint seminimal mungkin, tidak lebih dari beberapa hektare, dengan konsep bangunan hijau dan zonasi yang ketat.

3. Integrasi kurikulum dengan konservasi. Sekolah unggulan bisa diarahkan untuk menjadi laboratorium lapang: siswanya belajar langsung soal lingkungan, riset biodiversitas, dan konservasi. Dengan begitu, pendidikan unggul tidak merusak, tapi justru memperkuat fungsi kebun raya.

4. Kompensasi bagi masyarakat lokal. Warga sekitar harus mendapat manfaat nyata, misalnya beasiswa, lapangan kerja, hingga keterlibatan dalam pengelolaan fasilitas.


Penutup: Pendidikan dan Ekologi Harus Berdampingan


Saya memahami harapan besar yang tertuju pada pembangunan SMA Garuda Taruna Nusantara. Namun, harapan pendidikan tidak boleh dibayar dengan kerusakan ekologis. Sebuah keputusan bijak adalah keputusan yang berbasis data, melalui prosedur hukum yang jelas, dan lahir dari dialog publik yang sehat.


Jika semua syarat teknis dan sosial bisa dipenuhi, maka pembangunan sekolah unggulan bisa menjadi kebanggaan bersama. Tetapi jika risiko ekologisnya lebih besar dari manfaat yang dijanjikan, maka mencari lokasi alternatif adalah pilihan yang jauh lebih bijak.


Sebagai Kaprodi KPI IAIH Pancor, saya mengajak pemerintah daerah, DPRD, akademisi, dan masyarakat untuk menjadikan kasus ini sebagai momentum: membuktikan bahwa Lombok Timur bisa membangun pendidikan unggul tanpa mengorbankan warisan ekologisnya. Karena pada akhirnya, pendidikan sejati adalah membentuk generasi yang bukan hanya pintar, tetapi juga bijak menjaga bumi tempatnya berpijak.

24/04/25

Pandangan akademisi soal kasus kekerasan seksual di pondok pesantren

 
Kekerasan seksual di ponpes

OPSINTB.com - Angin tak dapat ditangkap, asap tak dapat digenggam. Begitulah pribahasa yang bisa menggambarkan kondisi dunia pondok pesantren saat ini.


Musibah yang menimpanya begitu perih. Semua hanya mengelus dada.


Pondok pesantren seharusnya menjadi tempat memupuk iman serta kecerdasan sosial, tapi oleh oknum-oknum tertentu dimanfaatkan sebagai lokasi pemuas nafsunya.


Bukan karena prestasi bagi santri-santrinya, melainkan jadi pelaku pelecehan seksual. Memanfaatkan keluguan siswanya. 


Lantaran kelakuan oknum itu. Semua pondok pesantren kena getahnya.


Pelaku adalah AF,  salah seorang pimpinan pondok pesantren di Lombok Barat. Gara-gara kasus itu pelaku dijuluki Walid Lombok, lantaran modusnya sama dengan serial film yang tengah tenar itu.


Kasus serupa, tak sekali terjadi di pondok pesantren. Tak heran saat ini ponpes sangat berdampak lantaran kelakuan oknum tersebut.


Di hubungi opsintb.com, Kamis 24 April 2025, Kaprodi KPI IAIH Pancor, Daeng Sani Ferdiansyah mengatakan, berita semacam itu sangat memilukan. Tragedi ini bukan hanya soal hukum dan pidana, tetapi luka moral dan krisis nilai yang lebih dalam. 


"Saya perihatin, sekaligus mengajak masyarakat untuk melakukan refleksi kritis terhadap wajah pendidikan keagamaan kita hari ini," kata pria yang karib disapa Daeng ini.


Pondok pesantren, ucapnya, selama ini identik dengan tempat mendidik akhlak, membentuk karakter, dan menyemai nilai-nilai keislaman. Namun, kasus ini menjadi paradoks lantaran dilakukan oleh mereka yang memiliki otoritas tertinggi.


Lembaga yang seharusnya menjadi benteng moral, sebutnya, justru menjadi ruang yang tak aman bagi sebagian santri.


Dia mengatakan, kabar serupa bukan beru pertama kali terdengar. Kejadian di berbagai daerah, itu menunjukan adanya pola.


Menurutnya, ada relasi kuasa yang timpang antara santri dan kiai, murid dan guru. Mereka yang dianggap suci dengan yang harus patuh. 


Relasi ini menjadi tanah subur bagi kekerasan seksual. Apalagi ketika dilindungi oleh dinding tabu.


"Seperti budaya diam, dan glorifikasi terhadap figur otoritatif," paparnya.


Dalam perspektif komunikasi, lanjutnya, relasi antara kiai dan santri bukan sekadar pembelajaran. Melainkan juga hubungan simbolik yang penuh dengan makna. 


Ketika seorang kiai melakukan pelecehan, ia tidak hanya melakukan kejahatan fisik. Tetapi juga kekerasan simbolik menghancurkan kepercayaan, menodai kehormatan agama, dan melanggengkan ketakutan dalam ruang yang seharusnya mendidik.


Kekerasan simbolik ini seringkali tidak terlihat, namun dampaknya jauh lebih dalam. Santri yang menjadi korban sering mengalami trauma berkepanjangan, merasa bersalah, merasa tak akan dipercaya jika bersuara, dan lebih menyedihkan lagi, merasa bahwa dirinya berdosa karena menentang tokoh suci.


"Sebagai pendidik di bidang komunikasi Islam, saya melihat ini sebagai kegagalan bersama," ucapnya.


Kegagalan untuk membangun komunikasi yang setara, mendidik tentang hak tubuh dan batas privasi, serta gagal menghadirkan keberpihakan yang tegas terhadap korban.


Selama ini, kasus-kasus seperti ini sering ditutup-tutupi. Korban dipaksa diam atas nama-nama baik pondok. 


Masyarakat enggan membahasnya secara terbuka karena takut dianggap menyerang agama. Namun, diam adalah bagian dari kekerasan itu sendiri. 


"Diam berarti membiarkan kekuasaan yang merusak itu terus beroperasi dalam senyap," tegasnya.


Semua pihak, ucapnya, harus berani bicara. Karena ini soal nyawa, martabat, dan masa depan generasi. 


Tidak bisa lagi menyembunyikan kekerasan di balik simbol-simbol agama. Sebab, kata dia, agama bukan pelindung pelaku, agama adalah pembela korban. 


"Rasulullah SAW pun mengajarkan untuk berpihak kepada yang dizalimi, bahkan jika itu melawan orang yang kita kagumi sekalipun," ujar Daeng.


Dia menegaskan keberanian bicara bukan berarti membenci pesantren atau mencoreng Islam. Justru ini adalah bentuk cinta yang paling jujur, berani menegakkan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan yang diajarkan agama.


'Sebagai bagian dari institusi pendidikan tinggi Islam, kami di Prodi KPI IAIH Pancor merasa memiliki tanggung jawab besar," tegasnya.


Tanggung jawab untuk tidak hanya mencetak lulusan yang paham teori dakwah, tapi juga mampu bersuara lantang melawan ketidakadilan dan kekerasan.


Pihaknya mendorong agar kurikulum pendidikan Islam lebih peka gender dan adil dalam membahas relasi kuasa. Materi komunikasi dakwah harus berbicara tentang etika komunikasi, kekerasan dalam simbol agama, dan pentingnya keberpihakan terhadap kelompok rentan. 


Mahasiswa harus diajak berdiskusi secara kritis. Bukan sekadar menghafal. Mendorong agar kurikulum pendidikan Islam lebih peka gender dan adil dalam membahas relasi kuasa. 


Pihaknya juga mendorong kolaborasi dengan lembaga perlindungan anak, psikolog, serta aktivis perempuan dan hak asasi manusia, untuk memperkuat pemahaman mahasiswa tentang kekerasan seksual dan mekanisme perlindungannya.


Sudah saatnya pesantren membuka ruang diskusi tentang kekerasan seksual. Harus ada kode etik perlindungan santri yang jelas dan bisa diakses semua pihak. 


Menurut Daeng, harus ada pelatihan bagi para pengasuh tentang bagaimana membangun relasi mendidik yang sehat dan tidak menyalahgunakan kuasa.


"Kita juga butuh audit moral. Bukan sekadar audit keuangan atau administrasi," ucapnya.


Siapa saja yang berada dalam struktur otoritas pesantren sebutnya, harus dipastikan memiliki rekam jejak yang bersih dan memiliki komitmen pada keselamatan anak didik.


Para santri khususnya santriwati, terang dia, harus diberi pendidikan tentang hak-hak tubuh, batasan sentuhan, dan bagaimana cara melapor jika terjadi pelanggaran. Itu disebutnya, bagian dari tanggung jawab kolektif untuk menjadikan ruang keagamaan sebagai ruang yang benar-benar aman dan sehat.


Dia mengajak seluruh lapisan masyarakat, khususnya para tokoh agama, pendidik, dan orang tua untuk tidak ragu berpihak kepada korban. Jangan biarkan simbol keagamaan menjadi benteng impunitas bagi pelaku kekerasan.


"Jangan biarkan kuasa membungkam kebenaran," ajaknya.


Dia mengajak, agar ada perubahan paradigma. Kesalehan tidak bisa diukur dari seberapa tinggi jabatan keagamaan seseorang, tapi dari seberapa ia menjaga martabat manusia lain. 


Pendidikan agama harus membebaskan, bukan menindas. Pesantren harus menjadi ruang tumbuh, bukan ruang trauma. 


Semua pihak, bisa menjadi bagian dari komunitas muslim yang cinta akan nilai-nilai luhur. harus berdiri tegak menyuarakan, tidak ada tempat untuk kekerasan seksual di ruang manapun, apalagi di ruang yang mengatasnamakan Tuhan.


"Jika kita diam hari ini, kita sedang menanam bibit kekerasan yang lebih ganas di masa depan," tutup Daeng. (kin)

30/03/25

Memahami bencana alam sebagai sunnatullah

 
Bencana banjir

Foto : Ilustrasi bencana alam banjir


Oleh: TGH. Habib Ziadi Thohir, M.Pd.I (Pengasuh Ponpes Darul Muhibbin Mispalah Praya, Lombok Tengah)


Di negeri ini, bencana alam datang silih berganti tanpa bisa diprediksi kapan datangnya. Hampir semua jenis bencana yang terdaptar dalam kamus pernah mampir di Republik ini. Datangnya pun tak mengenal musim. Tak pelak korban jiwa banyak berjatuhan. Belum lagi kerugian harta ditaksir sampai bermiliaran bahkan triliunan rupiah. Air mata manusia pun tumpah ruah sebagai alamat kesedihan yang mendalam Bila bencana datang, manusia kembali meratap, memelas iba, dan menanti uluran tangan manusia lain yang terlepas dari bencana.


Wilayah yang tadinya indah, subur, dan nyaman hancur lebur diganyang bencana alam. Di sanalah tampak kekurangan manusia dengan ketidakberdayaannya. Tampak pula kedigdayaan alam atas kuasa Ilahi.


Sebagai manusia memang kemampuan kita terbatas, bahkan menolak air mata menetes pun, sering kita tak sanggup, apalagi menolak datangnya bencana. "Dan manusia dijadikan bersifat lemah" (Q.S. An-Nisa: 28).


Dalam konteks Islam, bencana dapat dianggap sebagai Sunnatullah.


Sunnatullah adalah hukum atau ketetapan Allah yang berlaku di alam semesta. Contoh sunnatullah adalah siklus siang dan malam. Memahami sunnatullah sangat penting karena dapat membantu kita memahami keteraturan dan ketertiban di alam semesta. Bencana dapat dianggap sebagai sunnatullah karena merupakan bagian dari proses alam yang tidak dapat dihindar.


Bencana alam terjadi sebagai dampak ketika keseimbangan alam terganggu akibat ulah manusia. Bencana juga turun akibat penyimpangan manusia dari ajaran Allah serta pembangkangan terhadap kebenaran yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul.


Bencana alam merupakan peringatan dari Allah agar manusia kembali ke jalan-Nya.


Dalam Al-Qur'an, bencana atau musibah disebutkan sebanyak 75 kali. Kata musibah sendiri memiliki makna segala sesuatu yang tidak dikehendaki oleh manusia dan tidak sesuai dengan hati nuraninya.


Saat bencana atau musibah turun menimpa manusia, ada beberapa maksud dan tujuan dari peristiwa tersebut.


1. Sebagai Ujian


Bencana dapat dianggap sebagai ujian dari Allah untuk menguji iman, kesabaran, dan ketakwaan manusia. Dalam Al-Quran, disebutkan bahwa Allah akan menguji hamba-Nya dengan berbagai cobaan, termasuk bencana. Firman Allah, "Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar." (QS Albaqarah 155).


Bencana alam merupakan cara Allah memperbaiki lahir dan batin manusia. Bencana adalah kesempatan untuk muhasabah diri dan mengevaluasi diri untuk memperbaiki perilaku pribadi dan sosial.


2. Bencana Sebagai Teguran


Bencana dapat juga dianggap sebagai teguran dari Allah untuk mengingatkan manusia akan kesalahan dan dosa mereka. Allah SWT mengirimkan musibah sebagai teguran kepada hamba-hamba-Nya yang baik namun lalai.


Musibah dapat menjadi pengingat agar kita lebih berhati-hati dalam tindakan kita. Musibah dapat menjadi kesempatan untuk memperbaiki diri, bertobat, dan mendekatkan diri kepada Allah.


Di dalam Al Quran Allah berfirman : 


وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ


Artinya: "Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allâh memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)." (QS. As Syura: 30)


مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ


Artinya: "Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allâh, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri."(QS An Nisa: 79).


3. Musibah sebagai Hukuman.


Dalam beberapa kasus, bencana dapat dianggap sebagai hukuman dari Allah bagi orang-orang yang melakukan kesalahan dan dosa besar. Namun, perlu diingat bahwa hanya Allah yang mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang menjadi sebab bencana tersebut.


Contoh bencana berupa Azab seperti yang menimpa kaum terdahulu. Al-Qur'an menyebut kaum-kaum yang dibinasakan juga dengan jenis bencana yang ditimpakan kepada mereka. Kaum Nabi Nuh diseret dan tenggelam karena banjir bandang nan dahsyat, "Maka mereka mendustakan Nuh, kemudian Kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya dalam bahtera, dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta (mata hatinya)" (Q.S. Al-A'raf: 64).


Kaum Tsamud, kaumnya Nabi Shalih digoncang gempa, "Karena itu mereka ditimpa gempa, maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat tinggal mereka" (Q.S. Al-A'raf: 7). Kaum 'Ad, kaumnya Nabi Hud disambar petir, "Jika mereka berpaling maka katakanlah: "Aku telah memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum 'Ad dan Tsamud" (Q.S. Fusshilat: 13).


Semakin ke sini, perilaku manusia semakin menjadi-jadi dan tidak terkontrol. Kerusakan moral tengah mencapai puncak. Kerusakan lingkungan juga semakin parah dan mengkhawatirkan. Inilah penyebab utama terjadinya banjir bandang jika terjadi hujan lebat di beberapa wilayah di negeri kita.


Satu contoh kerusakan lingkungan yaitu kerusakan hutan yang tidak terkendali. Baru-baru ini dikutip dari jpnn.com, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) daerah Nusa Tenggara Barat (NTB) membeberkan hasil investigasinya tentang angka kerusakan hutan.


WALHI mencatat kerusakan hutan di NTB saat ini telah mencapai angka yang sangat krusial, yakni 60 Persen dari total kawasan hutan 1.071.722 Juta hektare (Ha).


Akademisi Kehutanan Universitas Mataram (Unram), Dr. Andi Chairil Ichsan menyatakan:


“Berdasarkan data yang ada saat ini, laju deforestasi di NTB mencapai 23 lapangan bola per hari,” ungkap Dr. Andi kepada NTBSatu, Rabu, 12 Maret 2025. Besaran tersebut setara dengan 8.280 hektare per tahun.


Di Lombok Tengah saja, luas kawasan hutan yang ada di wilayah ini tercatat sekitar 20.400 ribu lebih. Namun 78 Persen Hutan di Loteng rusak parah dalam setahun. Akibatnya masyarakat kekurangan 5 juta meter kubik air. (SUARANTBcom).


Kenapa bencana senantisa mengintai kita, padahal orang-orang shalih masih ada dan mereka yang ikhlas tidak sedikit? Ini bukan berarti Allah menzhalimi mereka. Sebab, secara kasat mata mereka mungkin saja ikut jadi korban, tetapi di akhirat memperoleh ganjaran yang sempurna. Berbeda dengan mereka yang tewas dari golongan ahli maksiat yang kafir atau fasiq, tempat mereka kembali ke tempat yang dijanjikan untuk mereka. "Dan Allah tidak menghendaki berbuat kezhaliman terhadap hamba-hamba-Nya" (Q.S. Al-Mukmin: 31).


Mengingat semua itu, peristiwa-peristiwa yang kerap terjadi ini adalah peringataan yang keras. Kita di atas bumi ini tidak pantas berulah. Kita perlu memikirkan bagaimana akhir hidup kita, apa kita mati dalam ketaatan atau kemaksiatan. Dalam menanggulangi bencana, kita tidak bisa berbuat banyak. Tindakan antisipasi yang bisa diupayakan hanya tindakan meminimalisasi jumlah korban jiwa. Lalu apa yang pantas kita sombongkan menghadapi amukan alam yang setia dan selalu mengintai kita. (red)

© Copyright 2021 OPSINTB.com | News References | PT. Opsi Media Utama