Rencana pembangunan SMA Garuda Taruna Nusantara di dalam kawasan Kebun Raya Lemor, Lombok Timur, tengah menjadi perbincangan hangat masyarakat. Bagi sebagian kalangan, sekolah unggulan berskala nasional ini adalah peluang emas untuk meningkatkan mutu pendidikan di Lombok Timur. Namun, bagi sebagian yang lain, proyek ini menimbulkan kekhawatiran akan rusaknya fungsi ekologis dan sosial kawasan konservasi yang sudah lama menjadi kebanggaan daerah.
Sebagai Kaprodi KPI IAIH Pancor, saya memandang isu ini tidak bisa dilihat dari satu sisi saja. Ada harapan besar untuk generasi muda, tetapi ada pula risiko ekologis yang tidak boleh diabaikan. Opini ini saya susun untuk memberikan perspektif akademis sekaligus mengajak semua pihak menimbang secara kritis.
Data Konkret: Apa yang Sebenarnya Direncanakan?
Beberapa fakta penting yang patut dicatat, yaitu:
1. Lokasi pembangunan di Kebun Raya Lemor. Pemerintah daerah mengalokasikan lahan sekitar 20 hektare dari total kawasan kebun raya untuk pembangunan sekolah. Lahan ini disebut sebagai aset pemkab yang dianggap “kosong” dan siap dimanfaatkan.
2. Penolakan masyarakat. Sejumlah warga, organisasi lingkungan, hingga komunitas pecinta alam menyuarakan penolakan. Mereka menilai kebun raya adalah ruang konservasi, penelitian, dan wisata edukasi yang tidak boleh dialihfungsikan seenaknya.
3. Kewajiban kajian lingkungan. Para ahli menekankan perlunya AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) dan studi hidrologi-resapan air sebelum pembangunan dimulai. Tanpa kajian ini, risiko kerusakan ekosistem dan konflik sosial sangat besar.
4. Nilai strategis Kebun Raya Lemor. Kawasan ini selama ini dikenal sebagai hutan lindung dan ruang konservasi, berfungsi menjaga cadangan air, keanekaragaman hayati, serta iklim mikro yang menopang kehidupan masyarakat sekitar.
Pendidikan Berkualitas: Harapan yang Tak Bisa Ditinggalkan
Tak bisa dipungkiri, Lombok Timur membutuhkan sekolah unggulan. Data BPS NTB tahun 2023 mencatat bahwa angka rata-rata lama sekolah di Lombok Timur baru sekitar 7,5 tahun, masih jauh di bawah rata-rata nasional yang mencapai lebih dari 9 tahun. Artinya, sebagian besar masyarakat kita hanya menamatkan pendidikan hingga SMP.
Hadirnya SMA Garuda Taruna Nusantara tentu menjanjikan peningkatan kualitas pendidikan, akses lebih luas bagi putra-putri daerah untuk meraih masa depan, dan kesempatan membangun jejaring nasional. Bahkan, secara ekonomi, keberadaan sekolah unggulan bisa menggerakkan aktivitas baru: dari penyediaan jasa transportasi, kuliner, hingga perumahan.
Risiko Ekologis: Ancaman Jangka Panjang
Namun di sisi lain, pembangunan di kawasan konservasi punya dampak serius. Kebun Raya Lemor adalah paru-paru hijau Lombok Timur. Fungsinya menjaga sumber mata air, melindungi biodiversitas, dan menjadi ruang rekreasi masyarakat. Jika 20 hektare kawasan dialihfungsikan, ada potensi, yaitu:
1. Turunnya daya resap air yang bisa memicu kekeringan di musim kemarau.
2. Hilangnya keanekaragaman hayati yang telah lama dilestarikan.
3. Menurunnya kualitas pariwisata ekologis yang sebenarnya bisa menjadi aset ekonomi berkelanjutan bagi warga sekitar.
Kerugian ekologis semacam ini tidak langsung terasa, tetapi dalam jangka panjang akan membebani generasi mendatang.
Komunikasi Publik: Jangan Hanya Seremonial
Sebagai akademisi komunikasi, saya menekankan pentingnya konsultasi publik yang bermakna. Jangan sampai masyarakat hanya “diberi tahu” setelah keputusan diambil. Proses dialog harus transparan, melibatkan warga, tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, pelaku wisata, hingga akademisi. Dokumen AMDAL dan kajian teknis seharusnya dipublikasikan terbuka, bukan sekadar formalitas.
Tanpa komunikasi yang jujur dan partisipatif, proyek pendidikan unggulan justru bisa kehilangan legitimasi sosial. Padahal, sekolah seharusnya menjadi simbol peradaban, bukan sumber konflik.
Alternatif Solusi
Ada beberapa langkah bijak yang bisa dipertimbangkan, yaitu:
1. Cari lokasi alternatif. Pemkab Lombok Timur memiliki banyak aset lahan non-produktif yang bisa dialokasikan untuk sekolah unggulan tanpa mengorbankan kawasan konservasi.
2. Desain ramah lingkungan. Jika pembangunan di Lemor tak terhindarkan, maka harus dilakukan dengan footprint seminimal mungkin, tidak lebih dari beberapa hektare, dengan konsep bangunan hijau dan zonasi yang ketat.
3. Integrasi kurikulum dengan konservasi. Sekolah unggulan bisa diarahkan untuk menjadi laboratorium lapang: siswanya belajar langsung soal lingkungan, riset biodiversitas, dan konservasi. Dengan begitu, pendidikan unggul tidak merusak, tapi justru memperkuat fungsi kebun raya.
4. Kompensasi bagi masyarakat lokal. Warga sekitar harus mendapat manfaat nyata, misalnya beasiswa, lapangan kerja, hingga keterlibatan dalam pengelolaan fasilitas.
Penutup: Pendidikan dan Ekologi Harus Berdampingan
Saya memahami harapan besar yang tertuju pada pembangunan SMA Garuda Taruna Nusantara. Namun, harapan pendidikan tidak boleh dibayar dengan kerusakan ekologis. Sebuah keputusan bijak adalah keputusan yang berbasis data, melalui prosedur hukum yang jelas, dan lahir dari dialog publik yang sehat.
Jika semua syarat teknis dan sosial bisa dipenuhi, maka pembangunan sekolah unggulan bisa menjadi kebanggaan bersama. Tetapi jika risiko ekologisnya lebih besar dari manfaat yang dijanjikan, maka mencari lokasi alternatif adalah pilihan yang jauh lebih bijak.
Sebagai Kaprodi KPI IAIH Pancor, saya mengajak pemerintah daerah, DPRD, akademisi, dan masyarakat untuk menjadikan kasus ini sebagai momentum: membuktikan bahwa Lombok Timur bisa membangun pendidikan unggul tanpa mengorbankan warisan ekologisnya. Karena pada akhirnya, pendidikan sejati adalah membentuk generasi yang bukan hanya pintar, tetapi juga bijak menjaga bumi tempatnya berpijak.
follow OPSINTB.com | News References dan dapatkan update informasi kami di twitter
Follow OPSINTB.com | News References dan dapatkan update informasi kami di Instagram
follow Instagram Kami