Konsep ummatan wasathan menurut TGB - OPSINTB.com | News References -->

20/08/22

Konsep ummatan wasathan menurut TGB

Konsep ummatan wasathan menurut TGB

 
Konsep ummatan wasathan menurut TGB

OPSINTB.com - Kenangan masa silam atas penghisaban atas hak-hak berkehidupan begitu perih. Tak ubahnya seperti keluar dari kandang singa masuk pula mulut buaya.

Andai kenangan itu diminta untuk ditelusuri sakitnya begitu terasa. Mampir dibenak pun tak akan sudi.

Letupan perlawanan hanya untuk bisa menikmati kehidupan layak akhirnya berbuah manis. Perjalanan perjuangan yang amat panjang itu di akhiri dengan memproklamirkan Indonesia sebagai negara yang merdeka.

Kini, 77 tahun umur kemerdekaan itu. Di usia yang sudah tak muda lagi ini perdebatan konsep kenegaraan terus saja mendengung.

Belakangan ini, konsep bernegara kembali dibenturkan dengan nilai agama. Kendati sebenarnya peristiwa semacam ini sudah lagu lama. Tapi, di kemas seolah-olah wacana baru dengan bungkus yang lebih segar.

Fenomena ini semakin hari kian meruncing. Saat mereka yang menganggap negara ini tak berdasarkan agama mendapatkan panggung. 

Benar kata Ibnu Rushd, jika ingin menguasai orang bodoh, bungkuslah sesuatu yang batil dengan agama.

Ketua Umum NWDI, HM Zainul Majdi, saat mengisi sebuah acara kajian Al quran dan tafsir kebangsaan di Mardliyah Islamic Center UGM Yogyakarta mengatakan, perintah mencintai negara memang tak ada dalam Al Quran. Tapi, menurutnya, sudah menjadi fitrah dalam diri manusia.

"Ada tidak perintah dalam Al Quran tentang cinta tanah air secara eksplisit," ujar pria yang karib disapa Tuan Guru Bajang ini, seraya bertanya kepada peserta dalam acara itu, melalui siaran langsung akun media NWDI, Jumat malam (19/8/2022).

TGB mengakui, perintah itu tidak ada. Namun, jelasnya, meski sesuatu itu tak terdapat dalam Al Quran bukan berarti tidak diakui.

Lalu dirinya mengutip ungkapan imam Ghozali yang mengatakan, banyak hal dalam kehidupan ini tak diperintahkan langsung dalam Al Quran. Karena memang menurutnya hal-hal itu sudah melekat sebagai tabiat dalam diri manusia.

Lalu dirinya mencontohkan, ayat-ayat tentang kewajiban anak berbakti kepada orang tua. Prihal itu, disebutnya banyak bahkan dijelaskan secara berulang.

Tapi ayat yang memerintahkan orang tua baik pada anaknya tak ada. Padahal perintah anak untuk berbuat baik pada orang tua itu berulang-ulang kali disebut.

"Karena orang tua berbuat baik kepada anak, itu sudah melekat pada hati orang tua," paparnya.

Ia mengatakan, banyak hal dalam Al Quran tak ditekankan, lantaran sudah melekat dalam diri. Kembali dirinya mengutip kata imam Ghazali, banyak hal yang tak diwajibkan langsung dalam agama karena dalam tabiat manusia sudah melekat.

Ilustrasi tersebut, dikatakannya, menjadi contoh mencintai tanah air, karena bagian dari fitroh. Sesuai dengan ciptaan manusia.

Masih kata TGB, yang membuat Sayyidan Nabi Muhammad SAW, yang sudah belasan tahun disiksa di Mekah. Tetap saja ketika hijrah ke Madinah dan menoleh.

"Lalu mengatakan duhai Mekah cinta ku pada mu melekat di hati ku, engkaulah tanah yang paling ku cinta tapi aku terpaksa pergi karena kaum mu, penduduk mu mengusir ku," papar mantan Gubernur NTB dua periode ini.

Jadi cinta tanah air itu tak disebutkan dalam Aq Quran bukan berarti tak penting. Karena memang sudah seharusnya dan memang itulah apa adanya, kodrat manusia cinta akan tanah air. Seperti cinta orang tua kepada anaknya.

Pria kelahiran 31 Mei 1972 itu menjelaskan, pertama menjadi ummatan wasathan itu yakni umat yang adil. Bentuk implementasi dalam kehidupan adalah mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya.

Yang kedua, imbuhnya, yang terbaik. Ucapan ini sebut Zainul Majdi, bukanlah kata benda.

Artinya kata ulama paparnya, upaya dan ikhtiar untuk terus melakukan yang menghadirkan kebaikan.

Karena itu, ucap TGB, dalam sepanjang bentangan 1.400 tahun lebih dalam pentas sejarah, umat islam menjadi yang inklusif. Karena menurutnya sikap terbuka menjadi salah satu syarat untuk mampu terus mengejar nilai-nilai yang lebih baik.

"Sayyidina Umar, tidak mungkin bisa mewariskan pemerintahan yang menurut ukuran pada masa itu adalah pemerintahan yang sangat canggih," ujarnya.

Sayyidina Umar, lanjutnya, tak akan menggapai itu jika tidak memiliki sikap terbuka. Mengadopsi sistem yang pemerintahan dari Persia.

Persia, jelasnya, bukan negara Islam begitu juga dengan pemimpinnya. Bahkan bermusuhan dengan agama islam.

Termasuk setelah zamannya Rosul, umat sangat antipati. Ditengah situasi yang disebutnya postilitas tetapi tetap ada yang bisa diambil, diadopsi dari sistem mereka.

Maka, ujarnya, imam Suyuthi mencatat pada masa Umar Ibnu Khatab, pertama kali membagi pemerintahan itu menjadi beberapa departemen, kementrian-kementrian. Yang masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab.

"Tidak ada pada zaman nabi, tidak ada pada zaman Abu Bakar, tapi adanya pada zaman Umar," katanya.

Saat itu, bebernya, negara islam begitu luas, yang dulunya hanya di zazirah Arab. Tapi bentangannya terus sampai kawasan Asia Tengah, wilayah ujung yang tak pernah tergambar oleh orang Arab.

Semakin banyaknya yang masuk islam, kompleksitasnya negara semakin besar. Yang akan diurus semakin berlipat ganda disitulah ucap TGB, sayyidina Umar merenung.

Tanah semakin luas, umat semakin luas. Jika terus dengan sistem awal Umar mengaku tak akan sanggup.

Di tengah kalut itu, Umar oleh satu sahabat diberi kabar bahwa di Persia memiliki pemerintahan yang sangat canggih. Mereka memiliki dewan-dewan. 

Mulai dari urusan ekonomi, sosial hingga persoalan anak yatim diurus masing-masing. Oleh Sayyidina Umar, menerapkan itu, dan itulah menjadi pondasi.

"Jika kita baca sejarah khulafa'urrosyidun pondasi pemerintah terkuat pada masa itu ialah pada zaman Umar dan diambil dari Persia, untuk mewujudkan ummatan wasathan," ujarnya.

Menurutnya, tanpa belajar melengkapi diri dengan eksperimen, keahlian, bahkan juga dengan hikmah. Yang datang dari mana saja, jika tak bertentangan dengan prinsip islam dirinya mempersilahkan.

Memiliki karakter proporsionalitas, membuat umat islam bisa mengembangkan diri dalam peradaban apa pun.

Islam, kata dia, bisa berkembang dalam budaya mana pun, karena ada ruang. Disaat aqidah itu sifatnya limitatif, sederhana, tegas dengan kalimat tauhid. Begitu juga dengan ibadah yang lainnya.

Dalam ruang sama, islam mengajarkan dalam ruang sosial kemasyarakatan dan ruang publik, interaksi sosial, dan muamalah dimungkinkan untuk berekreasi dengan seluas-luasnya.

Wathaniyyah, kata TGB, juga menjadi kreasi untuk membangun tatanan sosial yang baik.

"Jadi kita membangun negara dan bangsa, ini ijtihad kita membangun Indonesia," tandasnya. (hkk)

Read other related articles

Also read other articles

© Copyright 2021 OPSINTB.com | News References | PT. Opsi Media Utama