Biarkan hukum berjalan di atas rel hukum - OPSINTB.com | News References

25/11/25

Biarkan hukum berjalan di atas rel hukum

Biarkan hukum berjalan di atas rel hukum

 
Biarkan hukum berjalan di atas rel hukum

Oleh:

Dhabit Khadafi SH,

Sekjen PERADI Pergerakan NTB


Pasca penahanan terhadap tiga anggota DPRD NTB, IJU, MNI dan HK, oleh Kejaksaan Tinggi NTB, diskursus tentang penahanan terhadap ketiganya menyeruak di tengah publik, apakah hukum memang sedang berjalan di atas relnya dalam penegakan hukum bagi kasus yang menimpa ketiganya, atau dalam istilah hukumnya kepastian hukum atau rechtszekerheid.

Dalam ilmu hukum pidana, asas yang paling mendasar adalah tidak boleh seseorang dihukum tanpa adanya dasar hukum yang menyatakan orang tersebut bersalah. Karena ada beberapa hal yang menjadi catatan. Dimulai dengan adanya tekanan politik dari sejumlah pihak yang meyebarkan opini masive yang belum tentu benar di berbagai media, pembelahan arus kepentingan politik terkait kasus ini di DPRD NTB, unjuk rasa, dugaan pemaksaan dari kelembagaan tertentu, hingga perintah penahanan terhadap tiga anggota DPRD NTB tersebut yang proses penatapannya sebagai tersangka dianggap terlalu terburu-buru, juga karena secara administrasi hukum acara tidak sesuai dengan tujuan hukum acara yakni penegakan keadilan dalam proses hukum yang berkeadilan.

Jaksa menahan tiga anggota DPRD NTB ini karena alasan telah melakukan tindak pidana suap dan gratifikasi, sesuai ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf b UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Hakekat ditegakannya hukum tindak pidana korupsi sebenarnya secara sederhana adalah untuk mencari dan menghukum orang atau siapapun yang diketahui merugikan negara. Titik tekannya adalah adanya kerugian negara. Karena itulah kekagetan banyak orang menyeruak karena secara hakekat penahanan IJU dan MNI dan HK adalah pertanyaan mendasar karena tidak adanya kerugian negara yang ditimbulkan oleh ketiga tersangka tersebut.

Lalu mengapa mereka tetap ditahan?

Dalam keterangannya kepada media, 21 November 2025, Jampidsus Kejaksaan Tinggi NTB, Muh Zulkifli Said menjelaskan alasan penahanan IJU dan MNI adalah karena keduanya tersangkut tindak pidana gratifikasi. Kedua tersangka menurut Jampidus seperti yang ditulis radarlombok.co.id, berperan sebagai pemberi uang, bukan penerima. Kedua tersangka disangkakan melakukan tindak pidana sesuai ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf b UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Thun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Keterangan senada juga disampaikan saat penahanan terhadap HK.

Sampai di sini muncul berbagai pertanyaan yang cukup menarik untuk dibahas karena telah menjadi diskursus di ruang publik. Jika tindak pidana korupsi secara hakekat membutuhkan adanya kerugian negera, maka dari kasus ini adakah kerugian negara yang telah ditimbulkan? Jika keduanya disangkakan telah melakukan gratifikasi, pertanyaannya adalah apakah perbuatan dua tersangka tersebut telah memenuhi unsur Pasal 12B ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi? Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas (uang, barang, diskon, atau fasilitas) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang berkaitan dengan jabatan mereka.

Pertanyaannya, pemberian untuk kepentingan apa yang dilakukan kedua tersangka apabila dikaitkan dengan jabatannya. Begitu juga jika dikaitkan dengan delik pidana suap. Atas tujuan apa suap diberikan kedua tersangka? Apakah ada perbuatan hukum lanjutan atas gratifikasi tersebut yang terkait jabatan yang kemudian dapat merugikan negara.

Banyak yang menilai ketidak sempurnaan sangkaan inilah yang membuat perintah penahanan terhadap ketiga tersangka ini menjadi pertanyaan besar, untuk kepentingan apa keduanya harus ditahan. Jaksa sama sekali belum mampu menjelaskan pertanyaan jika ini gratifikasi, maka dari mana dana tersebut berasal. Apa bukti? Karena di beberapa keterangannya di sejumlah media Jampidsus Kejati NTB berulang kali menjelaskan dananya tidak berasal dari anggaran daerah (APBD), pokir, atau bahkan tidak berasal dari dana swasta.

Lalu unsur gratifikasinya di mana? Apakah ada hubungan antara sangkaan gratifikasi tersebut terhadap kebijakan Pemprov NTB? Jika ada, kebijakan yang mana? Apakah karena perbuatan gratifikasi tersebut ada  program atau proyek yang “dijual”? Jika ada maka sempurnalah gratifikasi atau suap. Tetapi jika seperti yang terlihat selama ini tidak ada program pemerintah, proyek pemeritah yang hilang atau bahkan APBD yang “bocor” maka atas tuduhan apa sangkaan tersangka tersebut diberikan.

Salah satu tujuan penegakan hukum adalah untuk mencegah dan mengatasi permasalahan hukum. Demikian juga dalam perkembangan hukum pidana khusus, yakni tindak pidana korupsi. Alat ukur paling dasar adalah kerugian negara. Apakah ada permasalahan hukum yang berakibat pada timbulnya kerugian negara. Apalagi perhitungan kerugian negara yang dimaksudkan oleh penjelasan Pasal 32 Ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 kerugian negara yang dimaksud adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan rumusan instansi yang berwenang, atau akuntan publik yang dirujuk. Artinya apa, menetapkan seseorang telah melakukan tindak pidana korupsi itu membutuhkan proses pembuktian yang panjang. Termasuk dalam membuktikan apakah ada atau tidak adanya tindak korupsi berupa gratifikasi maupun suap.

Suap atau gratifikasi dalam rumpun tindak pidana korupsi masuk dalam bentuk korupsi ekstortif, berupa pemberian penyelenggara negara untuk mendapatkan fasilitas, pelayanan, atau bentuk-bentuk lain dari kekuasaan yang dimiliki penyelenggara negara. Dalam sangkaan yang dialamatkan kepada ketiga tersangka anggota DPRD NTB ini, justru sebaliknya yang terjadi, ketiganya disangkakan sebagai penghubung atau pemberi uang.

Jika penerapan hukum harus konsisten, adil, terstruktur dan mengikat semua pihak, maka pertanyaan yang timbul adalah, siapa sebenarnya pemberi maupun penerima uang dalam sangkaan gratifikasi tersebut. Jika sumber uangnya bukan dari APBD atau dana program pemerintah, maka kerugian atas apa yang ditimbulkan dalam perbuatan gratifikasi dimaksud. Jika sangkaan tersebut gratifikasi, maka perbuatan gratifikasi dilakukan atas sumber dana yang mana? Semua ini belum tuntas rasanya. Lalu tiba-tiba diterbitkan perintah penahanan yang diakui atau tidak sangat cepat. Apakah penetapan telah memeunuhi unsur hukum acara yang benar. Inilah berbagai diskurus yang menjadi pertanyaan publik.

Rel bagi hukum dalam asas hukum adalah asas legalitas. Hukum harus berjalan di atas relnya yang disebut legalitas. Legalitas perintah penahanan inilah kini yang menjadi tertanyaan besar. Fakta awam melihat secara terang benderang betapa besarnya tekanan politik dan opini liar mewarnai penanganan kasus ini. Karena itulah menjadi relevan dalam penanganan kasus ini dikemukakan satu asas “no punishment without guilt” atau dalam ilmu hukum dikenal dengan asas geen straf zonder schuld, yang maknanya secara fundamental prinsip dalam penegakan hukum pidana itu adalah seseorang tidak dapat dihukum kecuali telah terbukti bersalah secara sah dan adil melalui proses hukum yang sesuai ketentuan hukum.

Rel hukum itu tidak berada di bawah rel kepentingan apapun di luar kepentingan hukum itu sendiri. Hukum tidak boleh ditekan melalui kepentingan apapun, baik politik, tekanan lembaga, institusi, atau kelompok masyarakat. Hukum selalu melekat pada ruang hukum itu sendiri, asas legalitas. Maka sebaiknya semua pihak harus menjauhkan proses penegakan hukum terhadap tiga anggota DPRD NTB ini dari kepentingan politik, pemaksaan kehendak, tekanan kelembagaan manapun. Hukum harus berjalan di atas rel hukum itu sendiri. Lex semper dabit remedium. Hukum itu sifatnya harus memberikan solusi, jalan keluar. Bukan keriuhan.

Read other related articles

Also read other articles

© Copyright 2021 OPSINTB.com | News References | PT. Opsi Media Utama