27 tahun reformasi: Prof Abdul Wahid soroti konsistensi demokrasi dan ancaman oligarki - OPSINTB.com | News References

29/05/25

27 tahun reformasi: Prof Abdul Wahid soroti konsistensi demokrasi dan ancaman oligarki

27 tahun reformasi: Prof Abdul Wahid soroti konsistensi demokrasi dan ancaman oligarki

 
Guru Besar UIN Mataram, Prof Dr Abdul Wahid

OPSINTB.com - Perjalanan reformasi Indonesia telah mencapai usia 27 tahun sejak bergulirnya gerakan besar pada 1998 yang menggulingkan rezim Orde Baru. Dalam rentang waktu tersebut, Indonesia telah melalui transformasi politik dan sosial yang signifikan. Namun, sejumlah tantangan besar masih membayangi cita-cita reformasi, khususnya dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.


Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram, Prof Dr Abdul Wahid, mengingat kembali atmosfer mencekam menjelang runtuhnya Orde Baru. Ia menuturkan bahwa dirinya menjadi saksi langsung kondisi politik menjelang reformasi, bahkan telah menuliskannya dalam sebuah catatan perlawanan yang sempat menjadi perbincangan luas.


“Waktu itu, pada 1996, saya sudah merasakan bagaimana ketat dan represifnya suasana politik. Buku yang saya tulis tentang catatan perlawanan sempat menjadi perbincangan karena merekam betul bagaimana manusia Indonesia, terutama generasi muda dan mahasiswa, hidup dalam tekanan sistem otoriter Orde Baru,” ungkap Prof Wahid, Rabu (28/5/2025). 


Capaian reformasi: Demokratisasi dan ruang publik yang lebih terbuka


Prof Wahid menilai bahwa reformasi membawa lompatan besar dari masa lalu yang penuh dengan totalitarianisme politik menuju era demokrasi yang lebih terbuka. Salah satu capaian yang ia soroti adalah pemilu langsung, kebebasan berpendapat, serta partisipasi politik yang luas melalui keberadaan berbagai partai politik.


“Dulu kita hanya mengenal tiga partai politik, tapi pasca reformasi, muncul banyak partai yang memberi warna dalam demokrasi. Kebebasan berpendapat juga jauh lebih terbuka, termasuk di ruang-ruang digital seperti media sosial,” jelasnya.


Ia juga menambahkan bahwa otonomi daerah, penguatan lembaga-lembaga hak asasi manusia, hingga penghapusan dwi fungsi ABRI merupakan warisan reformasi yang patut diapresiasi hingga saat ini.


Tantangan 27 tahun reformasi: Oligarki, kesenjangan, dan kemunduran nilai


Meski begitu, Prof Wahid mengingatkan bahwa semangat reformasi belum sepenuhnya konsisten dijaga. Ia menyoroti masih kuatnya pengaruh oligarki politik dan ekonomi, serta ketimpangan ekonomi yang belum terselesaikan.


“Kalau dulu kita menyebut KKN - korupsi, kolusi, nepotisme - sekarang bentuknya lebih kompleks dan terselubung. Ekonomi masih banyak dimonopoli oleh kelompok elite. Kita belum mencapai keadilan sosial yang merata,” paparnya.


Ia juga mengkritisi wacana penundaan pemilu yang sempat mencuat beberapa waktu lalu, yang menurutnya bertentangan dengan semangat dasar reformasi.


“Wacana penundaan pemilu itu mencederai cita-cita reformasi. Kita harus konsisten menjaga pemilihan langsung dan kebebasan pers sebagai bagian dari demokrasi yang sehat,” tegasnya.


Pesan untuk generasi muda: Jangan lupa sejarah reformasi


Prof Wahid menyayangkan bahwa generasi muda saat ini kerap merasa jauh dari narasi perjuangan reformasi. Menurutnya, hal ini terjadi karena melimpahnya informasi di era digital yang seringkali menenggelamkan sejarah penting bangsa.


“Generasi muda perlu mendapatkan pemahaman yang utuh tentang perjuangan masa lalu. Ini penting agar mereka tidak lupa arah perjuangan reformasi dan bisa menjadi penjaga masa depan bangsa,” kata Prof. Wahid.


Harapan dan rekomendasi: Arah baru menuju keadilan sosial


Prof Wahid menyampaikan bahwa ada sejumlah langkah strategis yang perlu diambil untuk menjaga dan memperkuat reformasi ke depan. Di antaranya adalah reformasi agraria dan ekonomi rakyat, agar distribusi kekayaan bisa lebih merata dan tidak hanya dinikmati oleh segelintir elit.


Penguatan tata kelola pemerintahan dan pemberantasan korupsi yang konsisten. Pengembangan ekonomi berbasis koperasi dan UMKM yang dikelola rakyat.


Selain itu ia mendorong maksimal pendapatan negara untuk kebutuhan dasar masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi.


Terakhir, pembinaan dan pemberdayaan generasi muda, termasuk penyediaan lapangan kerja layak, akses permodalan, dan pasar yang adil.


“Kita butuh kebijakan yang berpihak pada rakyat. Pendapatan negara harus kembali ke rakyat untuk kebutuhan dasarnya. Tidak hanya itu, generasi muda perlu dilibatkan secara aktif dan diberi ruang tumbuh lewat pekerjaan layak dan akses ekonomi,” pungkas Prof Wahid. (red)

Read other related articles

Also read other articles

© Copyright 2021 OPSINTB.com | News References | PT. Opsi Media Utama