Pandangan akademisi soal kasus kekerasan seksual di pondok pesantren - OPSINTB.com | News References

24/04/25

Pandangan akademisi soal kasus kekerasan seksual di pondok pesantren

Pandangan akademisi soal kasus kekerasan seksual di pondok pesantren

 
Kekerasan seksual di ponpes

OPSINTB.com - Angin tak dapat ditangkap, asap tak dapat digenggam. Begitulah pribahasa yang bisa menggambarkan kondisi dunia pondok pesantren saat ini.


Musibah yang menimpanya begitu perih. Semua hanya mengelus dada.


Pondok pesantren seharusnya menjadi tempat memupuk iman serta kecerdasan sosial, tapi oleh oknum-oknum tertentu dimanfaatkan sebagai lokasi pemuas nafsunya.


Bukan karena prestasi bagi santri-santrinya, melainkan jadi pelaku pelecehan seksual. Memanfaatkan keluguan siswanya. 


Lantaran kelakuan oknum itu. Semua pondok pesantren kena getahnya.


Pelaku adalah AF,  salah seorang pimpinan pondok pesantren di Lombok Barat. Gara-gara kasus itu pelaku dijuluki Walid Lombok, lantaran modusnya sama dengan serial film yang tengah tenar itu.


Kasus serupa, tak sekali terjadi di pondok pesantren. Tak heran saat ini ponpes sangat berdampak lantaran kelakuan oknum tersebut.


Di hubungi opsintb.com, Kamis 24 April 2025, Kaprodi KPI IAIH Pancor, Daeng Sani Ferdiansyah mengatakan, berita semacam itu sangat memilukan. Tragedi ini bukan hanya soal hukum dan pidana, tetapi luka moral dan krisis nilai yang lebih dalam. 


"Saya perihatin, sekaligus mengajak masyarakat untuk melakukan refleksi kritis terhadap wajah pendidikan keagamaan kita hari ini," kata pria yang karib disapa Daeng ini.


Pondok pesantren, ucapnya, selama ini identik dengan tempat mendidik akhlak, membentuk karakter, dan menyemai nilai-nilai keislaman. Namun, kasus ini menjadi paradoks lantaran dilakukan oleh mereka yang memiliki otoritas tertinggi.


Lembaga yang seharusnya menjadi benteng moral, sebutnya, justru menjadi ruang yang tak aman bagi sebagian santri.


Dia mengatakan, kabar serupa bukan beru pertama kali terdengar. Kejadian di berbagai daerah, itu menunjukan adanya pola.


Menurutnya, ada relasi kuasa yang timpang antara santri dan kiai, murid dan guru. Mereka yang dianggap suci dengan yang harus patuh. 


Relasi ini menjadi tanah subur bagi kekerasan seksual. Apalagi ketika dilindungi oleh dinding tabu.


"Seperti budaya diam, dan glorifikasi terhadap figur otoritatif," paparnya.


Dalam perspektif komunikasi, lanjutnya, relasi antara kiai dan santri bukan sekadar pembelajaran. Melainkan juga hubungan simbolik yang penuh dengan makna. 


Ketika seorang kiai melakukan pelecehan, ia tidak hanya melakukan kejahatan fisik. Tetapi juga kekerasan simbolik menghancurkan kepercayaan, menodai kehormatan agama, dan melanggengkan ketakutan dalam ruang yang seharusnya mendidik.


Kekerasan simbolik ini seringkali tidak terlihat, namun dampaknya jauh lebih dalam. Santri yang menjadi korban sering mengalami trauma berkepanjangan, merasa bersalah, merasa tak akan dipercaya jika bersuara, dan lebih menyedihkan lagi, merasa bahwa dirinya berdosa karena menentang tokoh suci.


"Sebagai pendidik di bidang komunikasi Islam, saya melihat ini sebagai kegagalan bersama," ucapnya.


Kegagalan untuk membangun komunikasi yang setara, mendidik tentang hak tubuh dan batas privasi, serta gagal menghadirkan keberpihakan yang tegas terhadap korban.


Selama ini, kasus-kasus seperti ini sering ditutup-tutupi. Korban dipaksa diam atas nama-nama baik pondok. 


Masyarakat enggan membahasnya secara terbuka karena takut dianggap menyerang agama. Namun, diam adalah bagian dari kekerasan itu sendiri. 


"Diam berarti membiarkan kekuasaan yang merusak itu terus beroperasi dalam senyap," tegasnya.


Semua pihak, ucapnya, harus berani bicara. Karena ini soal nyawa, martabat, dan masa depan generasi. 


Tidak bisa lagi menyembunyikan kekerasan di balik simbol-simbol agama. Sebab, kata dia, agama bukan pelindung pelaku, agama adalah pembela korban. 


"Rasulullah SAW pun mengajarkan untuk berpihak kepada yang dizalimi, bahkan jika itu melawan orang yang kita kagumi sekalipun," ujar Daeng.


Dia menegaskan keberanian bicara bukan berarti membenci pesantren atau mencoreng Islam. Justru ini adalah bentuk cinta yang paling jujur, berani menegakkan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan yang diajarkan agama.


'Sebagai bagian dari institusi pendidikan tinggi Islam, kami di Prodi KPI IAIH Pancor merasa memiliki tanggung jawab besar," tegasnya.


Tanggung jawab untuk tidak hanya mencetak lulusan yang paham teori dakwah, tapi juga mampu bersuara lantang melawan ketidakadilan dan kekerasan.


Pihaknya mendorong agar kurikulum pendidikan Islam lebih peka gender dan adil dalam membahas relasi kuasa. Materi komunikasi dakwah harus berbicara tentang etika komunikasi, kekerasan dalam simbol agama, dan pentingnya keberpihakan terhadap kelompok rentan. 


Mahasiswa harus diajak berdiskusi secara kritis. Bukan sekadar menghafal. Mendorong agar kurikulum pendidikan Islam lebih peka gender dan adil dalam membahas relasi kuasa. 


Pihaknya juga mendorong kolaborasi dengan lembaga perlindungan anak, psikolog, serta aktivis perempuan dan hak asasi manusia, untuk memperkuat pemahaman mahasiswa tentang kekerasan seksual dan mekanisme perlindungannya.


Sudah saatnya pesantren membuka ruang diskusi tentang kekerasan seksual. Harus ada kode etik perlindungan santri yang jelas dan bisa diakses semua pihak. 


Menurut Daeng, harus ada pelatihan bagi para pengasuh tentang bagaimana membangun relasi mendidik yang sehat dan tidak menyalahgunakan kuasa.


"Kita juga butuh audit moral. Bukan sekadar audit keuangan atau administrasi," ucapnya.


Siapa saja yang berada dalam struktur otoritas pesantren sebutnya, harus dipastikan memiliki rekam jejak yang bersih dan memiliki komitmen pada keselamatan anak didik.


Para santri khususnya santriwati, terang dia, harus diberi pendidikan tentang hak-hak tubuh, batasan sentuhan, dan bagaimana cara melapor jika terjadi pelanggaran. Itu disebutnya, bagian dari tanggung jawab kolektif untuk menjadikan ruang keagamaan sebagai ruang yang benar-benar aman dan sehat.


Dia mengajak seluruh lapisan masyarakat, khususnya para tokoh agama, pendidik, dan orang tua untuk tidak ragu berpihak kepada korban. Jangan biarkan simbol keagamaan menjadi benteng impunitas bagi pelaku kekerasan.


"Jangan biarkan kuasa membungkam kebenaran," ajaknya.


Dia mengajak, agar ada perubahan paradigma. Kesalehan tidak bisa diukur dari seberapa tinggi jabatan keagamaan seseorang, tapi dari seberapa ia menjaga martabat manusia lain. 


Pendidikan agama harus membebaskan, bukan menindas. Pesantren harus menjadi ruang tumbuh, bukan ruang trauma. 


Semua pihak, bisa menjadi bagian dari komunitas muslim yang cinta akan nilai-nilai luhur. harus berdiri tegak menyuarakan, tidak ada tempat untuk kekerasan seksual di ruang manapun, apalagi di ruang yang mengatasnamakan Tuhan.


"Jika kita diam hari ini, kita sedang menanam bibit kekerasan yang lebih ganas di masa depan," tutup Daeng. (kin)

Read other related articles

Also read other articles

© Copyright 2021 OPSINTB.com | News References | PT. Opsi Media Utama