Oleh : Gegen, warga Pohgading, Penggiat dan juga penggiat sejarah di lembaga Lombok Heritage and Science Society (LHSS).
Kehebohan penemuan bangkai kapal di lokasi penambangan pasir besi Dusun Dedalpak, Desa Pohgading, Lombok Timur pada hari Jum'at tanggal 15 Juli 2022 masih berlanjut sampai saat ini. Penemuan yang tidak disengaja ini telah membuka tabir sejarah masa lalu di Desa Pohgading.
Sebetulnya, ini adalah penemuan yang kedua, karena sebelumnya pada bulan November 2021, saya juga mendapat laporan serupa, namun sayang, saat itu warga telah terlanjur memotong dan menjarah kayu-kayunya.
Banyaknya bangkai kapal yang ditemukan di pesisir pantai Dedalpak ini tentu memunculkan spekulasi tentang seperti apa sebetulnya sejarah masa lalu di Pohgading, apakah betul Pohgading pada masa lalu adalah sebuah kota dagang yang memiliki pelabuhan sendiri?
Untuk menjawab pertanyaan ini sebetulnya kita harus menunggu dulu hasil identifikasi mengenai jenis kapal yang ditemukan ini, karena jika telah diketahui jenis kapalnya, maka kita akan mendapat panduan informasi, pada tahun dan abad berapa kapal itu ada.
Karena seperti yang tercatat dalam beberapa literatur perkapalan, jenis perahu dan kapal yang pernah ditemukan di nusantara itu ada beberapa jenis, mulai yang tertua seperti perahu bercadik (abad ke 10 dan 16), kapal Jong (abad 16 dan 18), kapal Padekawang (abad 18), perahu Mayang (abad 18), perahu Kora-Kora (abad ke 16), perahu Jukung dan Paduwang (abad 18 dan 19).
Kapal-kapal itu mempunyai bentuk dan teknik pembuatan yang berbeda-beda, dan juga di setiap daerah, masing-masing mempunyai jenis kapal yang berbeda pula, contoh, untuk wilayah Madura, Bali dan Lombok, banyak menggunakan jenis perahu Jukung, selain itu, jenis kapal ini juga mempunyai fungsi yang berbeda, ada yang digunakan sebagai perahu penangkap ikan saja dan ada juga yang digunakan sebagai sarana pengangkutan barang.
Kembali ke pertanyaan, bagaimana bisa bangkai-bangkai kapal itu ada di Pohgading?
Peta Lombok buatan Belanda tahun 1897 menunjukan bahwa dulu Pohgading punya pelabuhan sendiri, namanya Bangsal Pohgading, pelabuhan ini terletak di muara sungai Kokok Tanggek, di sebelah utara dari Bangsal Pohgading ini tertulis Pelabuhan Damar, sepertinya ini adalah pelabuhan yang ada di desa Pringgabaya.
Jika memang demikian adanya, kenapa keberadaan pelabuhan ini tidak hidup di memori kolektif orang Pohgading?, harusnya, jika pelabuhan ini benar sebuah pelabuhan yang ramai, maka cerita ini mestinya ada dan diceritakan secara turun temurun.
Namun, meski tidak hidup di memori kolektif orang Pohgading, referensi yang mengarah tentang Pohgading yang dipercayai mempunyai pelabuhan sedikitnya tercatat di beberapa referensi.
Pertama, piagem tembaga yang memuat tentang nama dan asal usul leluhur orang Pohgading menyebut, Wijaya Prana yang merupakan leluhur orang Pohgading pada saat pertama kali datang ke Pohgading di sekitar tahun 1518, ditulis mendarat di Sumur Batu, itu adalah sebuah tempat yang saat ini masuk wilayah dusun Sukamulia desa Pohgading Timur.
Kedua, catatan Pohgading menyebut, sekitar akhir tahun 1700 an, seorang leluhur Pohgading yang bernama Jro Gumiring mendapatkan hukuman adat yang bernama "bero", sebuah hukuman yang mengharuskan ia harus keluar dari desa, konon hukuman ini ia dapat karena fitnah seorang penguasa Bali di Pohgading. Dalam menjalani hukuman itu disebutkan, ia bersama 20 orang pengikutnya dilabuh dengan kapal pada sebuah tempat yang bernama Menanga Rarem, kemungkinan ini adalah Menange (muara) dari Kokok Tanggek, sebuah sungai yang mengalir dan berujung di pantai Pohgading.
Ketiga, peta Lombok buatan Belanda tahun 1897, dalam peta itu tertulis sebuah tempat yang bernama Bangsal Pohgading, jika diidentifikasi lokasi Bangsal Pohgading itu, persis ada di muara sungai Kokok Tanggek. Sebutan kata Bangsal jika merujuk pada beberapa referensi adalah sebuah bangunan yang terbuat dari kayu yang berfungsi sebagai pondok atau gudang.
Dari ketiga referensi ini, paling tidak, asumsi bahwa Pohgading mempunyai pelabuhan sendiri benar adanya, namun, sekali lagi ini baru sekedar asumsi.
Selain atas dasar asumsi bahwa penemuan bangkai kapal ini karena dahulunya Pohgading punya pelabuhan sendiri, letak laut Pohgading yang merupakan jalur perdagangan masa lampau juga patut dicurigai sebagai sebab dari keberadaan bangkai kapal tersebut.
Pada abad ke 17, 18 dan 19, selat Alas atau sebut saja laut Pohgading adalah jalur perdagangan yang cukup ramai, Labuan Lombok, Labuan Haji dan Pijot adalah beberapa pelabuhan tua yang banyak disebut dalam berbagai referensi sejarah. Letak tiga pelabuhan itu sejajar dengan posisi Pohgading, bisa saja, beberapa kapal yang melewati garis pantai ini terdampar di sekitar laut Pohgading.
Apapun itu, mengenai keberadaan kapal ini patut kita apresiasi, untuk sementara, janganlah bagian-bagian kapal ini dijarah, kedepan, jika semuanya telah teridenfikasi, keberadaan bangkai kapal ini bisa dijadikan sebagai objek wisata berbasis sejarah dan alam.
Dan yang terpenting adalah, keberadaan bangkai kapal ini bisa bercerita tentang kisah masa lalu Pohgading.
Terakhir, bagi para pencinta sejarah Pohgading, janganlah buru-buru mengklaim ini dan itu, narasi-narasi seperti "Pohgading sebagai kota besar", "Pohgading ibu kota Selaparang", "Pohgading adalah Gurun yang disebut dalam sumpah Palapa Gajah Mada" dan hal-hal besar lainya, sebaiknya ditahan dulu. Karena selain tidak mengedukasi, klaim-klaim seperti itu sering kali tidak mempunyai referensi yang jelas, biarlah sejarah Pohgading dipecahkan dengan metode ilmiah, bukan teori cocokologi. Dah itu saja.
follow OPSINTB.com | News References dan dapatkan update informasi kami di twitter
Follow OPSINTB.com | News References dan dapatkan update informasi kami di Instagram
follow Instagram Kami