Foto: Akademisi dari Unram Urfan dan Mantan Koordinator BEM SI Herianto. (istimewa)
OPSINTB.com - Mantan Koordinator BEM SI, Herianto menilai bahwa tambang rakyat yang berkembang tanpa regulasi ketat berpotensi menyalahi mandat konstitusi sekaligus nilai-nilai keagamaan.
“Dalam pasal 33 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945, bumi, air, dan kekayaan alam harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Bahkan pasal 28H ayat 1 menegaskan setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin dan tinggal di lingkungan yang baik dan sehat. Artinya, negara wajib melindungi rakyatnya dari kerusakan lingkungan akibat tambang ilegal,” dikutip dari podcast bersama Koranlombok.id.
Menurut Herianto, tambang ilegal bukan sekadar pelanggaran hukum nasional, melainkan juga pelanggaran agama.
“Dalam Al-Qur’an, Allah melarang manusia berbuat kerusakan di muka bumi. Rasulullah SAW bahkan melarang pasukannya menebang pohon sembarangan ketika perang. Jadi, jika pertambangan merusak lingkungan, itu bukan hanya pelanggaran hukum, tapi juga dosa kolektif,” tegasnya.
Dari sisi sosial, Herianto menyoroti lahirnya ketimpangan dan konflik antarwarga akibat tambang ilegal.
“Kita melihat anak-anak muda kehilangan arah, masuk dalam lingkaran ekonomi ilegal karena kemiskinan struktural dan lemahnya kontrol sosial. Konflik rebutan lahan hingga pembiaran aparat menambah keruh situasi,” ujarnya.
Sementara dari sisi ekonomi, kerugian negara akibat tambang ilegal mencapai angka yang signifikan.
“Selain kehilangan penerimaan, biaya pemulihan lingkungan jauh lebih besar daripada keuntungan sesaat. Jadi, pertambangan ilegal pada akhirnya membuat rakyat semakin sengsara,” tambahnya.
Pendapat Akademisi
Dalam podcast yang sama, Akademisi Universitas Mataram, Dr. Urfan menjelaskan bahwa izin pertambangan rakyat sebenarnya merupakan produk hukum yang sah. Ia lahir dari koreksi pemerintah terhadap praktik pertambangan masa lalu yang eksklusif.
“Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan memang berhasil meningkatkan investasi, tapi masyarakat sekitar tambang hanya jadi penonton. Karena itu, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 hadir memberi ruang agar rakyat ikut mengelola tambang. Dari situlah konsep IPR lahir,” jelasnya.
Menurut Urfan, IPR membuka kesempatan masyarakat mengelola tambang dalam skala kecil, baik secara individu, kelompok, maupun koperasi. Namun, persoalan muncul ketika izin ini justru dikuasai pihak luar.
“Pertanyaan penting adalah koperasinya siapa? Apakah benar-benar milik warga sekitar tambang, atau ada pihak lain yang menumpang? Sebelum izin keluar, seharusnya ada mekanisme konsultasi dengan bupati, provinsi, hingga penetapan dalam tata ruang wilayah. Jadi tidak bisa tiba-tiba sebuah koperasi menguasai tambang rakyat,” tegasnya.
Urfan menambahkan, meski konsep IPR bagus, pelaksanaannya penuh tantangan mulai dari konflik antar masyarakat hingga lingkungan.
“Konflik lahan, perebutan sumber daya, hingga kerusakan lingkungan adalah risiko nyata. Bahkan tambang rakyat sekalipun bisa menimbulkan kerusakan serius jika tidak dikelola secara benar,” ungkapnya.
Lebih jauh, Urfan mengingatkan soal bahaya jangka panjang akibat tambang.
“Tambang tradisional yang dilakukan ribuan orang bertahun-tahun juga meninggalkan dampak lingkungan. Kerusakan tidak hanya pada tanah, tapi juga air, laut, bahkan kesehatan masyarakat akibat logam berat. Ini persoalan serius yang seringkali luput dari perhatian,” jelasnya.
Ia menekankan bahwa pengelolaan tambang rakyat yang tidak memperhatikan lingkungan sama saja dengan mengkhianati generasi mendatang.
“Kita bukan hanya melanggar aturan hukum, tapi juga merampas hak anak cucu kita untuk hidup di lingkungan yang sehat,” tegasnya.
Perdebatan seputar tambang rakyat di NTB mencerminkan dilema besar dalam pengelolaan sumber daya alam. Di satu sisi, ada dorongan agar masyarakat sekitar tambang bisa merasakan manfaat ekonomi langsung. Di sisi lain, ada ancaman nyata berupa kerusakan lingkungan, konflik sosial, dan potensi monopoli oleh kelompok tertentu.
Tambang rakyat memang hadir sebagai solusi alternatif untuk mengurangi eksklusivitas perusahaan besar. Namun tanpa pengawasan ketat, ia bisa berubah menjadi sumber masalah baru. Tantangan terbesar adalah bagaimana menjadikan IPR benar-benar milik rakyat, sekaligus dikelola dengan memperhatikan keberlanjutan lingkungan.
"Kalau pengelolaan tambang rakyat tidak memperhatikan lingkungan, itu berarti kita sedang mengkhianati kepercayaan generasi mendatang kepada kita,” pesannya.
Dengan demikian, IPR di NTB harus dilihat bukan sekadar sebagai izin administratif, melainkan sebagai ujian. Apakah negara mampu menyeimbangkan kepentingan ekonomi dengan keadilan sosial dan kelestarian lingkungan.
Komisi lV DPRD NTB Desak Pemerintah Segera Turun Tangan
Ketua Komisi IV DPRD NTB Bidang Infrastruktur dan Lingkungan Hidup, Hamdan Kasim menegaskan bahwa seluruh tambang tanpa izin resmi adalah ilegal.
“Memang persoalan tambang ilegal ini harus secepatnya diselesaikan. Pemerintah harus segera hadir supaya tidak menjadi konflik berkepanjangan di tengah masyarakat, terutama masyarakat lingkar tambang,” tegas Hamdan.
Terkait regulasi, ia mengacu pada aturan terbaru tentang Pertambangan Mineral dan Batubar nomor 2 tahun 2025.
"Di undang-undang sudah jelas, kalau skemanya IUP yang lebih besar ya itu juga sudah diatur persyaratan-persyaratannya, baik dari segi lingkungan amdal (analisis dampak lingkungan) maupun persyaratan lainnya. Kalau tambang rakyat juga sudah ada persyaratannya, ada yang skemanya koperasi dan lainnya,” jelasnya.
Hamdan menilai, apabila dikelola dengan baik, sektor pertambangan bisa memberi manfaat besar bagi daerah bukan hanya untuk segelintir orang.
"Sekarang masih banyak informasi yang kita dapat, masih kucing-kucingan di lapangan, spo-spot sumber daya alam terutama tambang," ungkapnya. (red)
follow OPSINTB.com | News References dan dapatkan update informasi kami di twitter
Follow OPSINTB.com | News References dan dapatkan update informasi kami di Instagram
follow Instagram Kami