OPSINTB.com - Masyarakat Dusun Rowok dan Semeti, Desa Mekarsari, Kecamatan Praya Barat, Lombok Tengah (Loteng) kembali harus pulang dengan tangan hampa. Pasalnya, aksi kedua kalinya terkait permintaan pembenahan sempadan pantai dan pemberian suaka kepada warga Rowok belum ada titik terang.
Dalam pertemuan dengan Komisi I DPRD Loteng yang diselenggarakan di aula kantor dewan setempat, Rabu (16/10/2024), Ketua Komisi I, Ahmad Samsul Hadi meminta mereka kembali Jumat (18/10) lusa dengan membawa dokumen lengkap. Komisi I juga berjanji akan memanggil pihak-pihak yang terlibat, termasuk PT Sri yang mengklaim tanah warga.
''Perkaranya sekarang adalah; kita harus mampu mengurai persoalan itu secara baik tentu dengan menghadirkan rasa keadilan bagi mereka. Makanya semua pihak harus terlibat,'' kata Ahmad Samsul Hadi.
Terkait dengan sertifikat hak milik (SHM) yang digunakan PT Sri yang dijadikan senjata untuk mengusir warga yang masuk ke kawasan sempadan pantai; akan diverifikasi, karena menurutnya tidak boleh ada perusahaan yang membatasi akses publik masyarakat.
''Kalau itu perusahaan atau orang per orang menguasai yang janjinya dulu mau bangun hotel berbintang, tapi bertahun-tahun tidak ada kepastian; ya kami panggil,'' katanya.
''Sebab dahulu masyarakat mau menjual, karena di lokasi tersebut mereka dijanjikan akan dibangun hotel berbintang,'' sambungnya.
Keterangan Ahmad Samsul Hadi juga dibenarkan juru bicara masyarakat Desa Mekarsari, Ali Wardana. Ali mengatakan, saat PT Sri mengajukan pembelian ratusan hektare tanah warga, mereka diimingi akan dibangun hotel berbintang di lokasi tersebut. Sehingga, Mekarsari maupun pantai-pantai sekitarnya bisa dijadikan lokasi berjualan oleh warga, yang kemudian diharapkan akan mengangkat perekonomian mereka.
''Nyatanya, hingga sekarang 30 tahun berlalu tidak ada pembangunan. Masyarakat juga tidak menerima uang sesuai kesepakatan dengan harga Rp35 juta per hektare, tapi ada yang diberikan Rp 400-500 ribu saja,'' kata Ali.
Yayasan Insan Peduli Umat (YIPU) NTB yang melakukan pendampingan mendesak Perda No 7 Tahun 2011 segera direvisi. Tujuannya agar masyarakat bisa kembali beraktivitas normal di sempadan pantai dan bisa menggarap kembali lahan mereka.
''Maksimal pertengahan tahun 2025 harus direvisi agar masyarakat bisa kembali beraktivitas,'' desak Ketua YIPU NTB, Supardi Yusuf.
Selain penggarap lahan, ujarnya, para nelayan juga tidak diizinkan orang suruhan investor untuk menambatkan perhau-perahu mereka di pinggir pantai. Pihaknya sebenarnya tidak mempermasalahkan hal itu asal izin pembangunan seperti yang para investor ajukan saat akan membeli tanah warga dijalankan.
''Nah, di sinilah lemahnya pemerintah daerah. Sangat lemah. Kalah dengan investor. Kalau tidak percaya, silakan turun ke lapangan,'' pungkasnya. (wan)
follow OPSINTB.com | News References dan dapatkan update informasi kami di twitter
Follow OPSINTB.com | News References dan dapatkan update informasi kami di Instagram
follow Instagram Kami