Tangan dingin Siti Huamaeraq, ubah limbah nanas bernilai rupiah - OPSINTB.com | News References -->

07/08/22

Tangan dingin Siti Huamaeraq, ubah limbah nanas bernilai rupiah

Tangan dingin Siti Huamaeraq, ubah limbah nanas bernilai rupiah

 
Tangan dingin Siti Huamaeraq, ubah limbah nanas bernilai rupiah

OPSINTB.com - Angka di layar handphone menunjukan pukul 13.08 Wita. Selepas gawai di tangan berdering, bergegas melajukan sepeda motor.

Sedianya, Sabtu (6/8/2022) sesiang itu paling enak menikmati tidur. Namun sudah kadung janji, harus ditepati.

Jalan beraspal sedikit lengang, hanya beberapa motor dan mobil yang nampak lewat. Sesekali, kawanan toris terlihat tengah santai bergandengan sambil berjalan, menuju tempat mereka menginap.

Maklum, panasnya matahari tak terasa lantaran sejuknya wilayah yang menjadi salah satu andalan wisata di tanah bejuluk Gumi Patuh Karya ini.

Laju kendaraan tak begitu cepat. Agar mata tetap fokus melihat arah tujuan, sesekali melihat titik lokasi melalui aplikasi map yang dikirim melalui pesan WahtsApp.

Sekira pukul 14.30 sampai di persimpangan, di titik ini menurut Map yang dikirim rumah yang dituju sudah tak jauh lagi. Benar saja, selang beberapa menit dari simpang tiga itu, ketemu sebuah gubuk. 

Tepatnya di depan Masjid Dusun Kesambi Elen, Desa Jurit Baru, Kecamatan Pringgasela, Lombok Timur. Dengan model bangunan rumah era 1980-an, lengkap dengan gazebo. Biasanya di berugak inilah tamu yang datang diterima.

Siti Humaeraq, perempuan pembuat benang dari limbah daun nanas ini, dari kejauhan sudah nampak batang hidungnya. 

Di belakang Humaeraq, di teras rumah nampak sibuk wanita paruh baya. Sedang mengiris daun nanas yang bakal diolah menjadi benang.

"Saya mulai sekitar Agustus tahun 2020, tepat tanggalnya saya lupa," kata Siti Humaeraq sembari sorot matanya menghadap ke arah tumpukan daun nanas yang masih nampak hijau itu.

Humaeraq menuturkan, industri rumahan yang digelutinya itu tak pernah terpikirkan, tanpa sengaja. Waktu itu, salah satu dosen, tuturnya, main ke rumah dan memetik sendiri sehelai duan nanas tersebut.

Lalu, ucapnya, setelah memetik dosen itu nyeletuk menghadapnya, mengatakan kenapa tak bikin serat. Tak lama berselang dirinya dikenal dengan Aisah, yang memiliki mesin penggiling serat.

Barulah, kata dia, industri rumahan itu dijalaninya. Dengan membuat benang dari serat daun dengan nama latin pineapple-leaf pibres itu.

Ia menerangkan, satu kwintal daun nanas basah, menghasilkan 1 kilogram benang. Dalam satu minggunya hanya mampu memproduksi 5 kilogram.

Namun demikian, ucapnya, tumbuhan bernama latin ananas comosus ini, jika dihitung lebih mahal daun ketimbang buah. Hal itu jika dilihat dari sisi produksinya.

Dalam satu hektar tanaman nanas, menelan biaya tembus Rp 20 juta. Dihitung dari harga pupuk, buruh, penyemprotan, hingga panen dalam kurun waktu satu tahun sekali. Apalagi disebutnya tak ada lagi pupuk bersubsidi.

Jika harga mahal, bebernya, setahun dalam satu hektar itu, petani bisa mendapatkan Rp 30 juta hingga Rp 40 juta.

"Harganya kadang jatuh kalau lagi banyak," ucap Serjana Kimia Murni, Universitas Mataram ini.

Dengan adanya home industri yang digelutinya saat ini, tumbuhan bernama binomial ananas comosus itu tak ada yang terbuang. Jika dulu hanya menjual buahnya, sekarang petani bisa juga melego daunnya.

Dulunya, kata dia, daun nanas hanya dipandang sebagai limbah biasa oleh petani setempat. Dengan adanya, aktivitas itu sudah bisa bernilai rupiah.

Awalnya, ucap perempuan kelahiran 22 November 1999 ini, bahan baku hanya dirinya ngambil dari lahan sendiri. Berjalannya waktu, petani sekitar juga tertarik untuk menjual daun tersebut.

Daun nanas basah, ia beli seharga Rp 30 ribu per kwintal di petani sekitar. Hal itu dilakukan ujarnya, agar limbah setelah panen tak dibuang begitu saja.

"Ketimbang dibuang, kita beli dan sekarang petani selain jual buah juga bisa jual daunnya," ucapnya.

Humaeraq menjelaskan, hasil produksinya saat ini masih dijual di dalam daerah. Kendati dari luar ada banyak yang minat, salah satunya Bali.

Tapi dirinya mengaku sadar diri, lantaran aktivitasnya itu disebutnya masih skala rumahan, bukan industri besar. Untuk brand sendiri saja akunya masih susah apalagi menyuplai kebutuhan yang lain.

Ia menceritakan, untuk membuat produk berbahan serat nanas itu, dirinya telah mencari penenun lokal di Pringgasela. Namun demikian lantaran tak ada yang bisa mintal.

Oleh karena itu dirinya beralih ke Sukara, itu pun awalnya hanya satu orang yang siap. Tapi belakangan sudah banyak yang minat, dan telah berjumlah 14 penenun.

Serat daun nanas ini, sekarang sudah menjadi produk yang bisa dinikmati warga. Mulai dari kain, home dekor, sepatu uniqlo, topi, hingga yang terbaru sajadah.

"Kita hanya menyediakan bahan baku, untuk produksinya Bank Sampah yang buat," ujarnya.

Setelah jadi produk, bebernya, harga mulai  dari Rp 175 ribu, dan ada juga yang Rp 75 ribu hingga Rp 85 ribu dalam ukuran kecil, khusus digunakan untuk lapis tatakan cangkir.

Kendati demikian, dirinya belum kepikiran untuk membuat industri sendiri, walaupun dengan keberadaan usaha rumahan itu telah berdampak.

Sebab, kata dia, usaha yang digelutinya itu lebih banyak memberdayakan ibu rumah tangga setempat. Awalnya, hanya buruh batu yang dalam tiga hari baru bisa mendapatkan Rp 100 ribu. Itu pun, terangnya, dalam satu Dam Truk ditangani oleh satu kelompok yang jumlahnya banyak.

Setelah ada, aktivitas usahanya menurutnya penghasilan ibu rumah tangga disekitarnya dalam satu minggunya bisa meraup Rp 500 ribu perharinya. Dengan jumlah empat orang dalam satu kelompok.

Sistem kerjanya juga, menurutnya santai. Karena ibu-ibu rumah tangga banyak aktivitas di rumah yang harus diselesaikan terlebih dahulu.

"Ibu rumah tangga ini kan masak dulu di rumah, jadi ringan tidak berat," sebutnya.

Proses pembuatannya sendiri memakan waktu sedikit lama baru bisa jadi benang dan dapat dipasarkan. Ia menjelaskan, setelah diiris pinggir daunnya, lalau dimasukan ke dalam mesin penggiling serat.

Setelah itu, dikeringkan dalam jangka waktu satu hari. Usai serat itu kering, direndam dengan air selama satu malam.

Humaeraq berharap, ada perhatian pemerintah, dan memberikan bantuan berupa mesin penggiling serat yang lebih besar. 

"Saya satu-satunya di NTB yang menggeluti ini," pungkasnya Siti Humaeraq. (hkk)

Read other related articles

Also read other articles

© Copyright 2021 OPSINTB.com | News References | PT. Opsi Media Utama